Ciptakan Bumi Layak Huni Bagi Penerus Generasi
Laporan Terkini Save the Children “Generation Hope” tahun 2022 secara global memaparkan bahwa diperkirakan 774 juta anak di seluruh dunia atau sepertiga dari populasi anak di dunia hidup dengan dampak ganda yaitu kemiskinan yang parah dan darurat iklim. Indonesia menempati peringkat ke-9 tertinggi secara global terkait jumlah anak yang mengalami ancaman ganda tersebut.
Memiliki anak di jaman sekarang disebut tindakan radikal sebuah harapan masa depan. Kita berkaca pada kondisi global saat ini, kita lihat anak-anak di Somalia meninggal, mereka tidak punya makanan yang cukup, air yang bersih, dan kebutuhan sehari-hari yang tidak dapat diakses. Begitu pula krisis kemanusiaan yang terjadi di Pakistan, Afganistan, dan yang paling parah dapat kita lihat di Palestina saat ini. Hari ini yang kebutuhan meningkat bukan hanya karena konflik yang terjadi, lebih dari pada itu, krisis iklim menjadi ancaman global untuk krisis kemanusiaan yang terjadi.
Indeks risiko iklim anak dari UNICEF menunjukkan ada 1 miliar anak dengan ‘risiko ekstrem’ mengalami kerugian akibat perubahan iklim. Diperkirakan bahwa 850 juta anak, 1 dari tiap 3 anak di seluruh dunia, berada di wilayah yang memiliki minimal 4 dari jenis guncangan iklim dan lingkungan hidup yaitu keterpaparan tingkat tinggi terhadap banjir rob, keterpaparan tingkat tinggi terhadap banjir sungai, keterpaparan tingkat tinggi terhadap siklon, keterpaparan tingkat tinggi terhadap pencemaran timbal, keterpaparan tingkat tinggi terhadap gelombang panas, keterpaparan tingkat tinggi terhadap kelangkaan air, dan keterpaparan tingkat tinggi terhadap polusi udara. Pada posisi ke-46, Indonesia adalah salah satu dari negara dengan risiko tinggi (high risk)
Berdasarkan laporan Fridays for Future, anak-anak Indonesia mengalami keterpaparan tinggi terhadap penyakit tular vector, pencemaran udara dan banjir rob; namun hal ini tidak diimbangi dengan pengembangan infrastruktur dan juga layanan sosial, khususnya kesehatan dan nutrisi, perlindungan sosial, dan pendidikan. “Indonesia termasuk dalam 50 negara teratas di dunia dengan anak-anak yang paling berisiko terpapar dampak dari perubahan iklim dan kerusakan lingkungan. Namun, jika kita bertindak sekarang, kita dapat mencegah situasi ini menjadi lebih buruk” ujar Debora Comini sebagai perwakilan UNICEF Indonesia.
Krisis iklim adalah krisis hak anak
Anak muda di Indonesia tak terkecuali, menjadi salah satu kelompok di dunia yang menghadapi risiko dan dampak perubahan iklim yang tinggi, dengan ancaman terhadap kesehatan, pendidikan, dan perlindungan mereka.
Kita bisa ambil contoh dari keluarga nelayan, sang ayah sebagai kepala keluarga yang menjadi tulang punggung keluarga dengan mencari nafkah sebagai nelayan harus menelan pahitnya kenyataan ahwa tangkapan setiap tahunnya semakin kesini semakin berkurang. Bahkan sering kali ia tidak mendapat tangkapan sama sekali. Tentu hal ini dapat berdampak pada perekonomian keluarganya, kesehatan, nutrisi, serta pendidikan anaknya.
Krisis iklim memicu krisis di sekotr air bersih, kesehatan, pendidikan, perlindungan, dan partisipasi. Krisis ini mengancam keberlangsungan hidup anak. Dipandang dari semua sisi, krisis ini melanggar hak-hak anak sebagaimana disebutkan dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anaka (KHA) atau lebih dikenal sebagai UN-CRC (United Nations Convention on the Rights of the Child) sebuah perjanjian hak asasi manusia yang menjamin hak-hak pada bidang sipil, ekonomi, sosial, kesehatan, dan budaya yang disahkan pada tahun 1989 oleh PBB.
Anak-anak memikul beban perubahan akibat krisis iklim yang ekstrem. Dibandingkan orang dewasa, anak-anak membutuhkan lebih banyak makanan dan air per kilogram berat badan. Anak-anak rentan terhadap perubahan tiba-tiba, cuaca ekstrem, bahan beracun, sekaligus penyakit, dan bumi menjadi tempat yang tidak lagi ideal bagi tumbuh kembang anak-anak generasi selanjutnya.
Jika krisis iklim dan ketimpangan tidak segera ditangani, tingkat keparahan krisis kemanusiaan serta biaya hidup akan terus meningkat. Pemerintah harus menjalankan pendanaan iklim untuk mitigasi dan adaptasi yang berpihak pada anak selaku agen perubahan yang akan membawa Indonesia menuju masa keemasannya. Pemerintah dan para stakeholder, sektor swasta, dan pemangku kepentingan sebagai para pemegang keputusan perlu segera menanggulangi akar masalah perubahan iklim dengan mengurangi emisi gas rumah kaca sebagaimana ditetapkan dalam Perjanjian Paris dan terus berupaya untuk beralih pada energi terbarukan.
Kita semua harus paham peran kita dalam situasi ini, menghadapi krisis perubahan iklim sebagaimana mestinya, dan segera mengambil Tindakan yang dibutuhkan untuk memastikan anak-anak di masa sekarang punya Bumi yang layak huni di masa depan.
Najid Hafiy
Siswa SMAIT Abu Bakar Boarding School Kulon Progo, kelas XII, Lahir di Subang 27 Maret 2006, Aktif di Organisasi FOKSIT. Pernah Mengikuti Kegiatan IMUN Phillipines 2022. Pendengar dan Penggemar Setia RadioHead, Blur, dan Oasis Abadi. Peserta Bengkel Bahasa dan Sastra Balai Bahasa DIY 2023 Kulon Progo Kelas Esai. Surel : najidhafie@gmail.com