Kafe dan Darurat Ruang Komunal
Najid Hafiy
Salah satu gegar budaya yang saya rasakan sebagai anak perantauan dari Jakarta ke Jogja ialah sesaat sesampainya saya di kedai kopi di sekitar Yogyakarta. Rasa-rasanya sudah seperti ajang berkompetisi dalam berpakaian. Niat ke kedai kopi untuk bercanda ria sebagai suatu komunitas malah kena julid karena sendalan. Padahal di Jakarta atau di kota-kota besar pergi beli kopi menggunakan sandal cukup lumrah karena jarak yang terbilang cukup dekat. Sangat kontras sekali dengan anak muda di Yogyakarta di mana ke kafe saja harus rapi sekali menggunakan sepatu bak ingin pergi ke kondangan.
Kopi adalah salah satu kebutuhan pokok yang selalu ada dalam keseharian saya sebagai penikmat kopi. Sehari tanpa kopi bisa membuat saya terlihat lemas, letih, dan lesu. Saya bisa mengonsumsi kopi sehari dua sampai tiga gelas, satu cangkir gelas di pagi hari, dua di malam hari sebagai penutup. Menurut saya minum kopi itu tidak harus di kedai kopi, tapi kedai kopi sebagai ruang komunal atau tempat untuk bersosialisasi bersama teman. Bercanda-ria bersama teman ditemani segelas kopi dan senja di kedai kopi yang berada persis di tengah kota, sungguh sebuah hal yang indah bukan? Namun hal itu mulai buyar ketika tatapan sinis mengintai melihat busana saya dan teman-teman tongkrongan kami.
Sebagai anak skena, kedai kopi adalah tempat yang sempurna untuk bergaul, bercengkerama, dan bertukar pikiran bareng teman dan komunitas. Pada awalnya kedai kopi hanya tempat untuk mengisi waktu luang untuk berkumpul dengan teman di akhir pekan. Namun makin kesini kedai kopi banyak juga difungsikan oleh Generasi Stroberi saat ini sebagai tempat mengerjakan tugas dan sebagai rutinitas atau gaya hidup masa kini. Generasi muda saat ini sangat senang menghabiskan waktunya berlama lama di kedai kopi. Hal ini menjadi faktor utama menjamurnya kedai kopi di Yogyakarta.
Menjamurnya Kedai Kopi di Yogyakarta
Jumlah kedai kopi di Yogyakarta masih lebih tinggi ketimbang beberapa kota lain di sekitar Yogyakarta, seperti Semarang yang jumlah kedai kopinya hanya sekitar 700 kedai dan solo dengan jumlah kedai kopi sebanyak 400 kedai (kumparan.com, 3/9/22). sampai saat ini, data dari Komunitas Kopi Nusantara, tercatat ada sekitar 3.000 kedai kopi yang tersebar di seluruh wilayah DIY (kumparan.com, 3/9/22). Jumlah itu bahkan belum dihitung seperti angkringan, yang menurut saya juga bisa dijadikan tempat nongkrong minum kopi. Entah dimulai dari mana budaya mengopi ini, sedangkan Yogyakarta hanya memiliki 2 sentra produksi kopi, yaitu di Lereng Merapi dan di pegunungan Menoreh. Namun walau hanya memiliki 2 sentra produksi, Yogyakarta dijuluki Kota Seribu Coffee Shop.
Menjamurnya kedai kopi di Yogyakarta disebabkan beberapa faktor, sebagai kota pelajar anak muda jaman sekarang punya kebutuhan akan tempat dan koneksi jaringan yang kencang untuk mengerjakan tugas kuliahnya. Kedai kopi di Yogyakarta juga menjamur di sebabkan anak muda yang merasa dirinya harus ke kedai kopi agar dianggap kekinian. Anak muda jaman sekarang mengaktualisasikan dirinya sebagai anak muda jaman sekarang dengan mengunggah status Instagram di kedai kopi masa kini. Karena hal ini pula gengsi mulai tumbuh di generasi saat ini untuk datang ke kedai kopi dengan outfit yang wah dan juga ramai.
Kedai Kopi rasa Fashion Show
Sebagai anak muda yang sedang pada masanya suara harus didengar, tumbuh dan penuh visi misi, mengaktualisasi diri dengan beberapa pernyataan adalah yang dibutuhkan. Namun tak perlu demikian, anak muda mengaktualisasi diri dengan pernyataan busana yang ramai dan ribet untuk berkunjung ke kedai kopi. Menurut saya hal itu sungguh berlebihan, apalagi hanya untuk mengerjakan tugas dan bercengkerama ria bersama teman. Pernah suatu saat, saya bersama teman saya pergi ke salah satu Kedai Kopi terkenal di Yogyakarta yaitu Silol Kopi. Saya dan rekan sejawat saya Danesh (17), sesama pelajar di Yogyakarta, yang hanya ingin melepas dahaga di tengah panasnya kota Yogyakarta dengan segelas kopi dingin segar, merasa sangat tidak nyaman ketika ditatap oleh pengunjung lain. Pasalnya kami berdua hanya menggunakan sandal jepit, celana pendek, dan berkaus oblong Joger yang sudah usang. “Orang-orang ini kenapa sih? ke kafe siang bolong pakai hoodie dan sepatu segede-gede aban di siang bolong?” keluh Danesh.
Kami merasa seperti sedang di tengah-tengah event fashion show yang tengah berlangsung di kedai kopi. Saya pun bertanya pada teman saya, Taufik (20) sebagai orang yang sangat sering ke kedai kopi menggunakan busana yang ramai dari atas sampai bawah. Menurut Taufik, menggunakan baju itu tidak bisa asal menggunakan saja. Ada teori yang benar dalam berpakaian, seperti color palette harus sesuai, proporsi siluet yang harus pas dua pertiga, dan warna yang matching dan senada dari ujung rambut sampai ujung jempol kaki sampai bawah. Kita harus memikirkan mulai dari kaos sebagai basic fondasi, layering yang harus senada dengan sepatu, dan berbagai aksesori yang matching dengan outfit. “menurutku kalau nongkrong harus disesuaikan sama tempatnya sih, kalau tempatnya lumayan ‘wah’, outfit harus ‘wah’ juga. Buat di unggah di status Instagram, dan konten tik tok sekalian” kata Taufik. Untuk pergi ke kedai kopi yang dekat rumah saja harus meluangkan satu jam hanya untuk memikirkan busana.
Yogyakarta Darurat Ruang Komunal
Menurut saya Yogyakarta itu darurat ruang komunal. Kalau anak muda Jakarta punya Citayam Fashion Week, Yogyakarta mungkin hanya punya JEC dan Jogja National Museum untuk mengekspresikan diri, itu pun hanya kalau ada acara besar yang bisa menyelenggarakan. Tempat terbuka untuk berekspresi diri seperti Malioboro sangat dibutuhkan anak muda untuk bersosialisasi dan mengekspresikan diri. Koordinator Umum Pasar Rakyat Jogja Gumregah Widihasto Wasana Putra, mengungkapkan sulitnya mencari lokasi untuk menggelar pasar rakyat yang mengusung konsep seperti pasar malam sekaten (Kumparan.com, 30/9/22). Ruang terbuka sangat penting bagi Masyarakat untuk berkegiatan atau mengadakan acara. Acara-acara besar untuk menjangkau Masyarakat menyalurkan hobi mereka hanya bisa diadakan di tempat-tempat seperti Jogja Expo Center (JEC), Kridosono, dan Amongrogo. Namun tempat-tempat seperti itu butuh biaya sewa yang tidak murah pula.
Event seperti Mangafest di mana pemuda penyuka anime ataupun budaya jepang hanya bisa diadakan oleh EO besar, karena tempat seperti lapangan Grha Sabha Pramana UGM membutuhkan dana yang tidak murah. Masih banyak komunitas dari lintas hobi dan minat yang bisa dijadikan acara dan disebarluaskan keberadaannya. Sehingga ruang komunal yang lebih terjangkau sangat dibutuhkan untuk membantu Masyarakat mengekspresikan diri dan bersosialisasi. Ajang anak muda untuk mengekspresikan diri lewat pamer busana di kedai kopi di Yogyakarta adalah bukti mengapa Yogyakarta darurat ruang komunal untuk mengekspresikan diri mereka.
Kenapa tidak para pegiat busana yang tersesat membuat acara Fashion Show sendiri untuk mengekspresikan diri mereka? Saya yakin hal itu dapat dicapai ketika ruang publik yang tersedia memadai.
Ruang komunal masih sangat jarang kita temukan di ruang publik terutama di Daerah Istimewa Yogyakarta. Di Yogyakarta saja masih sangat sedikit, apalagi di daerah-daerah kabupatennya seperti di Kulon Progo. Minat dan bakat yang ingin diekspresikan oleh anak-anak muda ngabers Yogyakarta sering kali terhalang hanya karena tempat yang tidak memadai. Ada anak komunitas riders yang harus pergi keluar kota hanya karena di Yogyakarta acara Riding sangat jarang diadakan, bisa sampai dua tahun sekali. Pemerintah perlu menyediakan lebih banyak ruang publik yang nyaman dan memadai bagi para masyarakatnya menyalurkan minat dan bakat mereka.
Ruang komunal yang mungkin lebih dikenal sebagai ruang yang menampung kegiatan sosial dan digunakan untuk seluruh lapisan Masyarakat atau komunitas perlu lebih di lestarikan. Ruang komunal terbuka seperti Alun-alun Wates yang terletak di Wates, Kulon Progo misalnya, fasilitas publik seperti toilet yang tidak layak, tempat pejalan kaki yang rusak minimnya ruang hijau yang rindang, masih perlu diperbaiki agar dapat digunakan oleh masyarakat setempat dengan nyaman. Jadi para pegiat tata busana yang ingin mengekspresikan minat mereka terhadap estetika busana dapat disalurkan bakatnya di tempat yang tepat dan dapat dikenal oleh masyarakat. Tidak salah menyalurkannya ke kedai kopi yang fungsinya memang untuk beli kopi dan bercanda ria malah menjadi kedai kopi berkedok pamer busana.
Kedai Kopi sebagai produk kapitalis yang hanya dimiliki oleh para pemodal dan berorientasi pada keuntungan tidak dan tidak akan pernah bisa menggantikan ruang publik sebagai ruang komunal. Ruang komunal haruslah bersifat publik dan berorientasi pada sosial dan ruang publik haruslah ada dan dimiliki di setiap tempat. Hal ini perlu diperjuangkan karena merupakan hak kita sebagai warga negara yang taat membayar pajak untuk mendapatkan ruang publik yang layak bagi masyarakatnya. Oleh karena itu, darurat ruang komunal perlu kita perjuangkan agar komunitas-komunitas bisa mengekspresikan diri mereka dengan mudah dan dapat dikenal lebih luas.
Najid Hafiy
Siswa SMAIT Abu Bakar Boarding School Kulon Progo, XII tinggal di asrama cowok, penggemar dan pendengar setia Radiohead, Peserta Bengkel Bahasa dan Sastra Balai Bahasa DIY 2023.